Dari Supernova sampai Olimpiade

Kumpulan lada hitam itu mulai tenggelam perlahan lahan seraya menghangatnya air dalam gelas kaca yang sekarang terlihat coklat karena warna airnya telah bercampur dengan komposisi gula, jahe merah, lada hitam, cabe jawa, gula aren, habbatusauda,secang, madu dan ginseng. Minuman instan herbal yang katanya sehat menurut tulisan pada pembungkusnya.

Mungkin saja demikian, karena artis komedi terkenal nasional menjadi semacam brand ambassadornya. Tapi saya tidak sedang ikut promosi dengan produk ini, saya sementara duduk di teras rumah kos sambil membaca buku Kepingan Supernova karya Dee Lestari dan menikmati secangkir minuman herbal, sementara itu tatapan saya sesekali tertuju pada lada hitam yang sementara tenggelam itu.

Pikiran saya Kembali teringat dengan materi pembelajaran yang sementara saya ajarkan di kelas XI sejarah Indonesia mengenai latar belakang lahirnya kolonialisme dan imperialism di Nusantara. Salah satu yang menjadi rebutan adalah rempah-rempah! Sebenarnya ini bukan hal yang baru bagi saya karena sebagai guru sejarah setiap tahun saya harus berkutat dengan materi ini.

Saya berefleksi kalau komoditi seperti rempah-rempah salah satunya adalah lada pernah menentukan jalannya sejarah dunia dan Indonesia. Sejarah kelam yang dibungkus dalam istilah kolonialisme dan imperialisme di buku-buku sejarah di Indonesia.

Sewaktu membaca tentang madu dan ginseng yang ada dalam komposisi minuman herbal itu, pikiran saya sepertinya sangat menyatu dengan kutipan dalam buku Supernova yang sedang saya baca. Saya tuliskan Kembali kutipan yang ditulis oleh Dewi Lestari dalam topik yang berjudul partikel,

“ada bagian dari otakmu yang akan selalu merasionalisasikan kebinatanganmu, Hasrat tubuhmu yang sudah matang dan memang siap dan ingin disetubuhi, dengan banjiran konsep muluk seperti jatuh cinta, asmara, dan entah apa lagi”.

Manusia adalah binatang terdidik yang hanya dapat dilemahkan oleh yang Namanya nafsu entah disukai atau pun tak disukai. Pikiran melayang pada setiap aktifitas di sekitar manusia yang tetap sama dari abad ke abad dan dari sejarah ke sejarah yang berikutnya.

Aktifitas yang bergerak di seputaran Hasrat untuk berkuasa, bersenang-senang, mengalahkan, memperebutkan, meninggalkan, dan membuang apa yang sudah usang. Selalu saja ada aktifitas yang berhubugan dengan keinginan untuk tetap eksis mekipun kadang menghalalkan segala cara.

Namun di tengah krisis kepribadian seperti itu mata kita dipaksa untuk dialihkan ke sejumlah orang yang ingin menunjukkan eksistensi mereka dalam semangat sportifitas dan persatuan. Saya sangat-sangat antusias dengan gelaran olimpiade yang sementara berlangsung di Tokyo, Namanya sih menggunakan angka tahun 2020 sama seperti piala eropa kemarin; karena memang ini adalah even olahraga yang tertunda setahun karena pandemic covid-19.

Saya memang sangat antusias dengan pesta olahraga empat tahunan ini. Pertama kali saya menonton dan mengikuti berita-berita seputar olimpiade adalah sewaktu tahun 2000 di Sydney. Hampir setiap hari saya mengikuti perkembangannya melalui televisi. Apalagi waktu itu Indonesia merebut medali emas dari cabang bulu tangkis ganda putra Candra Wijaya dan Tony Gunawan.

Semoga saja di olimpiade Tokyo ini Indonesia dapat melanjutkan tradisi emas cabang bulutangkis dan semoga akan ada kejutan-kejutan di cabang olahraga lain seperti angkat besi, panahan, atletik dan surfing.

Kali ini sejarah Indonesia tidak hanya ditentukan oleh lada atau jalur rempahnya, tapi oleh para olimpian yang siap mengharumkan nama Indonesia di ajang olimpiade. Semoga ibu pertiwi yang sedang tidak baik baik saja ini dapat segera pulih Kembali setidaknya terhibur oleh perjuangan para atletnya di Tokyo.

Mungkin para atlet Indonesia perlu meminum ramuan-ramuan herbal khas Nusantara untuk membantu menjaga imun saat berada di Tokyo.

Manado, 24 juli 2021

The collection of black pepper began to sink slowly as the water in the glass warmed up, which now looks brown because the color of the water has been mixed with the composition of sugar, red ginger, black pepper, Javanese chili, palm sugar, habbatusauda, ​​secang, honey and ginseng. Herbal instant drink which is said to be healthy according to the writing on the packaging.

Maybe so, because a famous national comedy artist became a kind of brand ambassador. But I’m not promoting this product, I’m sitting on the terrace of the boarding house while reading the book Kepingan Supernova by Dee Lestari and enjoying a cup of herbal drink, meanwhile my gaze is occasionally fixed on the black pepper that is temporarily sinking.

My thoughts went back to the learning material that I was currently teaching in class XI of Indonesian history regarding the background of the birth of colonialism and imperialism in the archipelago. One of the things that has become a bone of contention is spices! Actually this is nothing new to me because as a history teacher every year I have to deal with this material.

I reflect that commodities such as spices, one of which is pepper, have determined the course of the history of the world and Indonesia. A dark history that is wrapped in the terms colonialism and imperialism in history books in Indonesia.

While reading about the honey and ginseng in the composition of the herbal drink, my mind seemed to be very much in tune with the quote in the Supernova book I was reading. I rewrite the quote written by Dewi Lestari in the topic entitled particle,

“There is a part of your brain that will always rationalize your animality, the desire of your body that is ripe and ready and wants to have sex, with a flood of grandiose concepts such as falling in love, romance, and who knows what else.”

Man is a well-educated animal which can only be weakened by the name of lust, whether it is liked or disliked. Thoughts drift to every activity around man which remains the same from century to century and from history to history.

Activities that revolve around the desire to power, have fun, beat, fight, leave, and throw away what is obsolete. There are always activities related to the desire to exist even though sometimes it justifies any means.

But in the midst of a personality crisis like that our eyes are forced to turn to a number of people who want to show their existence in the spirit of sportsmanship and unity. I am very, very enthusiastic about the Olympics which are currently taking place in Tokyo. The name still uses the 2020 numbers, the same as yesterday’s European Cup; because this is a sporting event that has been postponed for a year due to the COVID-19 pandemic.

I am very enthusiastic about this quadrennial sporting event. The first time I watched and followed the news about the Olympics was in 2000 in Sydney. Almost every day I follow developments on television. Moreover, at that time, Indonesia won the gold medal from the men’s doubles badminton, Candra Wijaya and Tony Gunawan.

Hopefully, at the Tokyo Olympics, Indonesia can continue the golden tradition of badminton and hopefully there will be surprises in other sports such as weightlifting, archery, athletics and surfing.

This time, the history of Indonesia is not only determined by the pepper or the spice route, but by the Olympians who are ready to make Indonesia proud in the Olympics. Hopefully this motherland who is not doing well can recover soon. At least she will be entertained by the struggles of her athletes in Tokyo.

Maybe the Indonesian athletes need to drink herbal ingredients typical of the archipelago to help maintain immunity while in Tokyo.

Tinggalkan komentar